Ketaksaan Makna dalam Semantik

Ketaksaan Makna dalam Semantik

Semantik dengan objek atau maknanya bersifat konstruktif pada semua tingkatan, yaitu fonologis, morfologis, dan sintaksis. Semantik bukanlah satu level dalam artian merupakan elemen yang membangun unit berikutnya yang lebih besar, tetapi merupakan elemen yang ada pada semua level tersebut, walaupun sifat kehadirannya pada setiap level tidak sama. Tingkat penggunaan bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam interaksi tentu tidak lepas dari penggunaan kata atau kalimat yang mengarah pada makna, yang merupakan ruang lingkup semantik. Salah satu unsur yang dianalisis dalam bidang semantik adalah ketaksaan. Ketaksaan ini sering diartikan sebagai kata yang memiliki makna ganda atau ambigu. Oleh sebab itu, berikut ini akan diuraikan mengenai pengertian ketaksaan beserta jenis-jenisnya.

A. Konsep Ketaksaan

Ketaksaan dalam bahasa lisan dan tulisan dapat memengaruhi pemahaman pesan dan informasi. Situasi ini dapat terjadi dalam komunikasi interpersonal, yang tentu saja melibatkan pesan satu arah dan timbal balik. Dalam proses ini, sepotong informasi dapat menyebabkan berbagai interpretasi makna sampai batas tertentu. Dalam penelitian linguistik, ketaksaan atau ambiguitas makna dapat dipelajari dari sudut pandang yang berbeda, seperti pemeriksaan sintaksis yang digunakan untuk mengungkapkan makna dalam struktur dan bentuk tertentu. Hal yang kedua adalah menggunakan konten makna tertentu untuk mengungkapkan makna dalam penelitian semantik. Ketiga, studi pragmatik mengkaji makna ekspresif dari penggunaan tertentu. Menurut Santoso, ambiguitas adalah ketidakjelasan makna kebahasaan dalam bentuk lisan atau tulisan, yang berlaku pada bentuk kata, klausa, syair, dan wacana. Dengan kata lain, ambiguitas mengacu pada makna yang tidak jelas dalam hal kata, frasa, atau ayat. 

Selain itu, Kridalaksana menyatakan bahwa ambiguitas membutuhkan analisis teks yang lebih luas dan mendalam. Selain itu, Subroto mengemukakan bahwa ambiguitas adalah masalah semantik, yaitu masalah penafsiran makna suatu ujaran (wacana atau ekspresi) yang dapat diartikan sebagai makna yang beragam, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Chaer juga menyatakan bahwa ambiguitas dapat diartikan sebagai kata yang memiliki lebih dari satu makna pada struktur sintaksis. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ambiguitas adalah ketidakjelasan makna suatu bahasa, baik yang terdengar dari bahasa lisan tertentu atau secara tertulis, membaca teks seseorang pada akhirnya mempersulit bagi seseorang untuk membaca inti sari makna yang sebenarnya, karena harus memproses ulang untuk menjelaskan makna yang tidak jelas dari kata, frasa atau kalimat.

B. Jenis-Jenis Ketaksaan

Bentuk utama dari ketaksaan terkait dengan fonetik, tata bahasa, dan kosakata. Ambiguitas ini terjadi ketika kita sebagai pendengar atau pembaca, merasa sulit untuk memahami apa yang kita baca atau apa yang kita dengar. Bahasa lisan seringkali menimbulkan ambiguitas, karena apa yang kita dengar belum tentu apa yang dimaksud oleh pembicara atau penulis. Dalam menulis, kita menyadari bahwa tanda baca dapat memperjelas makna. Ini terutama benar ketika pembicara berbicara dengan cepat, tanpa jeda. Ketaksaan sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yaitu (1) ketaksaan fonetik, (2) ketaksaan gramatikal, dan (3) ketaksaan leksikal. Oleh sebab itu, berikut merupakan penjelasan dari ketiga jenis ambiguitas tersebut.

1. Ketaksaan Fonetik

Tingkat ketaksaan ini disebabkan oleh bau suara yang diucapkan. Terkadang makna suatu kata atau frasa dapat disalahpahami karena frasa atau kata tersebut diucapkan terlalu cepat dalam percakapan. Ini mungkin menimbulkan keraguan tentang maknanya, seperti pada kalimat kapan emas kawinnya? Ungkapan ini mungkin disalahpahami jika kita jangan memperhatikan konteksnya. Jika pengucapannya terlalu cepat, maka dapat diartikan sebagai saat pemberian uang nikah (barang) kepada mempelai wanita, misalnya, atau dapat diartikan ketika seseorang yang bernama mas (kakak) akan menikah

Menurut contoh di atas, untuk menghindari ambiguitas, pendengar akan meminta pembicara untuk mengulangi apa yang dia katakan. Dengan cara ini, ketika pembicara mengulangi apa yang dia katakan sebelumnya karena dia tidak jelas, pendengar akan mengerti apa yang sebenarnya dikatakan pembicara.

2. Ketaksaan Gramatikal

Makna gramatikal (grammatical meaning) adalah makna yang menyangkut hubungan di dalam bahasa atau makna yang dihasilkan oleh fungsi kata dalam kalimat. Dalam semantik, makna gramatikal berbeda dengan makna leksikal. Dalam pengoperasiannya, makna leksikal dapat diubah menjadi makna gramatikal. Makna gramatikal adalah makna yang ada sebagai hasil dari proses gramatikal, seperti imbuhan, pengulangan, dan proses gabungan. Seperti yang ditunjukkan pada contoh di bawah ini. 

Secara umum, dalam proses afiksasi, awalan dengan kata dasar pakaian (berbaju) akan menghasilkan makna gramatikal memakai atau mengenakan pakaian. Pada kenyataannya, makna suatu kata, baik itu kata dasar maupun kata fiksi, seringkali bergantung pada konteks kalimat atau konteks situasinya, sehingga makna gramatikal ini biasa juga disebut makna kontekstual. Selain itu dapat juga disebut makna struktural, karena proses dan satuan gramatikalnya selalu berkaitan dengan struktur gramatika. Misalnya, untuk mengungkapkan makna ‘kemajemukan’, bahasa Indonesia menggunakan proses yang berulang-ulang, misalnya kata book berarti ‘buku’ dan books berarti ‘banyak buku’.

3. Ketaksaan Leksikal

Ketaksaan dalam bahasa lisan dan tulisan dapat memengaruhi pemahaman pesan dan informasi. Situasi ini dapat terjadi dalam komunikasi interpersonal, yang tentu saja melibatkan pesan satu arah dan timbal balik. Dalam proses ini, sepotong informasi dapat menyebabkan berbagai interpretasi makna sampai batas tertentu. Dalam penelitian linguistik, ketaksaan atau ambiguitas makna dapat dipelajari dari sudut pandang yang berbeda, seperti pemeriksaan sintaksis dari sintaks yang digunakan untuk mengungkapkan makna dalam struktur dan bentuk tertentu. Ketaksaan leksikal memiliki lebih dari satu makna, dapat merujuk pada lingkungan di mana ia digunakan. Kecenderungan leksikal dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (1) polisemi, dan (2) homonimi. Oleh sebab itu, berikut merupakan penjelasannya.

a. Polisemi

Kata polisemi biasanya didefinisikan sebagai unit linguistik dengan banyak arti (terutama kata, tetapi juga frasa). Menurut pembahasan sebelumnya, setiap kata hanya memiliki satu makna, yang disebut makna leksikal dan makna yang sesuai dengan objek yang dirujuknya. Dalam perkembangan selanjutnya, komponen makna tersebut berkembang menjadi makna individual. Makna yang bukan merupakan makna asli kata bukanlah makna leksikal, karena tidak merujuk pada rujukan kata yang terkait dengan kata polisemi, demikianlah cara membedakannya dari bentuk yang disebut homofoni. Homofoni ini bukanlah sebuah kata, melainkan dua kata atau lebih yang kebetulan memiliki bentuk yang sama. Contoh polisemi dapat dilihat pada kalimat berikut, Husni mempunyai hubungan darah dengan Hasan, dan pada kalimat tubuhnya berlumuran darah akibat terjatuh dari sepeda motor.

b. Homonimi

Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno “onomo“, yang berarti ‘nama’, dan homo berarti ‘sama’. Secara harfiah, homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama yang sama dari sesuatu atau hal lain’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan homonimi sebagai ekspresi (berupa kata, frasa, atau kalimat) dan ekspresi lain (juga dalam bentuk kata, frasa, atau kalimat) yang memiliki bentuk yang sama tetapi makna yang berbeda. 

Dalam bahasa Indonesia juga banyak terdapat homonimi yang tersusun lebih dari tiga kata. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS Poerwadarminta menggunakan angka romawi dalam komponen sinonimi tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983), terdiri dari Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan pusat pengembangan bahasa. Perkembangan homonimi kata ditandai dengan angka Arab. Hubungan antara dua homofon adalah dua arah. Ada dua kemungkinan alasan untuk homofon, yaitu:

  • Bentuk homophonic berasal dari bahasa atau dialek yang berbeda.
  • Bentuk nama yang sama merupakan hasil proses morfologis.

C. Daftar Referensi

  • Chaer, Abdul. (2009). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Edi Subroto. (2011). Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala.
  • Kridalaksana, Harimurti. (1982). Kamus Linguistik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Othman, Z. H. Y., & Hamzah, Z. A. Z. (2020). Ketaksaan Leksikal dalam Perbualan Masyarakat Peniaga Terengganu. Jurnal Linguistik, 24(1).
  • Subroto, Edi. (2011). Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala.

E. Unduh (Download) Resume Ketaksaan Makna dalam Semantik

PDF
Ketaksaan Makna dalam Semantik.pdf
Download

Leave a Comment