Kesantunan Berbahasa Leech dan Prinsip Kerja Sama Grice

Kesantunan Berbahasa Leech dan Prinsip Kerja Sama Grice - Languafie

Dalam konteks komunikasi, prinsip kerja sama tidak dapat diterapkan dengan cara yang sama pada suatu masyarakat bahasa. Ada masyarakat yang dalam situasi tertentu lebih mementingkan prinsip kesantunan daripada prinsip kerja sama, atau lebih mendahulukan maksim prinsip kesantunan yang satu daripada yang lain. Untuk dapat memberikan penjelasan yang baik dibutuhkan prinsip kesantunan. Karena itu prinsip kesantunan tidak boleh dianggap sebagai sebuah prinsip yang sekadar ditambahkan saja pada prinsip kerja sama, tetapi prinsip kesantunan merupakan komplemen yang sangat perlu, yang dapat menyelamatkan prinsip kerja sama dari suatu kesulitan yang serius. (Leech, 1983: 121). Jadi, prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam tindak tutur percakapan dapat bersinergi tetapi dapat pula bertentangan.

A. Kesantunan Berbahasa Leech 

Dalam sebuah interaksi, idealnya seorang pelaku membutuhkan prinsip lain sebagai prinsip pendukung. Hal ini dikemukakan oleh Leech dalam Rahardi, Setyaningsih, dan Dewi (2019) dan Jumanto (2017) bahwa dalam sebuah interaksi para pelaku membutuhkan prinsip lain selain prinsip kerjasama, yaitu prinsip kesopanan “politeness principle”. Prinsip kesopanan mempunyai sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan atau ketimbangrasaan “tact maxim”, maksim kedermawanan atau kemurahatian “generosity maxim”, maksim penerimaan atau pujian “approbation maxim”, maksim kerendahan hati “modesty maxim”, maksim kesetujuan atau kesepakatan “agreement maxim” dan maksim simpati “sympathy maxim”. Maksim-maksim kesantunan yang dikemukan oleh Leech cenderung berpasangan secara diadik, antara maksim satu dengan maksim yang lain, sebagai berikut:

  1. Maksim kearifan (tact maxim) mengatur dua jenis ilokusi, yaitu ilokusi direktif dan ilokusi komisif: (a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
  2. Maksim kedermawanan (generosity maxim) ilokusi-ilokusi impositif dan komisif: (a) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, (b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
  3. Maksim pujian (approbation maxim) dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif: (a) kecamlah orang lain sedikit mungkin, (b) pujilah orang lain sebanyak mungkin.
  4. Maksim kerendahan hati (modesty maxim) dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan asertif: (a) pujilah diri sendiri sedikit mungkin, (b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
  5. Maksim kesepakatan (agreement maxim) dalam ilokusi asertif: (a) usahakan agar ketidaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sedikit mungkin, (b) usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin.
  6. Maksim simpati (sympathy maxim) dalam ilokusi asertif: (a) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain hingga sekecil mungkin, (b) tingkatkan rasa simpati sebanyakbanyaknya antara diri sendiri dengan orang lain.

Berdasarkan keenam maksim yang dikemukakan Leech itu, pada dasarnya tidak dapat mandiri sebagai tuturan maksim tertentu, tetapi akan selalu berelasi dengan maksim yang lain. Maksim kearifan (tact maxim) tidak dapat dilepaskan dari maksim kedermawanan (generosity maxim), kemudian maksim pujian (approbition maxim) berelasi dengan maksim kerendahan hati (modesty maxim) dan maksim kesepakatan (agreement maxim) berelasi dengan maksim simpati (sympathy maxim). Ada konsep diadik (berpasangan) antara maksim satu dengan yang lain, sehingga suatu tindak tutur dapat mengandung beberapa maksim. 

Pada maksim kearifan merupakan tindak tutur yang kesantunannya difokuskan pada keuntungan mitra tutur, sedangkan maksim kedermawanan merupakan tindak tutur yang kesantunannya difokuskan pada kerugian penutur (diri sendiri). Maksim pujian merupakan tindak tutur yang kesantunannya difokuskan pada pujian terhadap mitra tutur, sedangkan maksim kerendahan hati merupakan tindak tutur yang kesantunannya difokuskan pada kecaman terhadap penutur (diri sendiri). Maksim kesepakatan merupakan tindak tutur yang kesantunannya difokuskan pada kesetujuan dengan kehendak mitra tutur, sedangkan maksim simpati memfokuskan pada menghilangkan antipati pada penutur (diri sendiri).

B. Prinsip Kerja Sama Grice

Prinsip kerjasama (cooperative principle) yang dapat diterjemahkan ke dalam empat maksim atau bidal (Jumanto, 2017), yaitu maksim keinformatifan atau kuantitas (maxim of quantity), maksim kebenaran atau kualitas (maxim of quality), maksim relevansi atau relasi (maxim of relation), dan bidal kejelasan atau cara (maxim of manner). Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, maka pengungkapan atau penyampaian informasi berpotensi efektif dan efisien, karena informasi yang diberikan oleh penutur tidak lebih dan tidak kurang (sesuai kebutuhan), kemudian informasi tersebut benar atau tidak salah karena berdasarkan fakta yang sebenarnya, selanjutnya informasinya relevan (berkaitan dengan subjek) dan penyampaian informasinya baik.

Grice (1975: 45) mengemukakan prinsip kerja sama sebagai berikut “Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.” Prinsip kerja sama Grice (1975), antara lain (1) prinsip kuantitas, (2) prinsip kualitas, (3) prinsip hubungan, dan (4) prinsip cara. Prinsip kuantitas dilaksanakan dengan memberikan jumlah informasi secara tepat dan informatif. Prinsip kaulitas dilaksanakan dengan memberikan informasi berupa fakta yang logis dan disertai bukti. 

Prinsip hubungan dilaksanakan dengan memberikan tuturan sesuai topik dan percakapan saling terkait satu sama lain. Prinsip cara dilaksnakan dengan memberikan tuturan yang jelas, tidak taksa, singkat, dan teratur. Pada percakapan dalam berujar penutur disarankan untuk menyampaikan ujaranya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur (Rani, dkk, 2013:194).

Grice (1975:45-47) mengemukakan bahwa wacana yang wajar dapat terjadi apabila antara penutur dan petutur patuh pada prinsip kerja sama komunikasi. Prinsip kerja sama tersebut terdiri dari empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu:

  • maksim kuantitas (maxim of quantity),
  • maksim kualitas (maxim of quality),
  • maksim relevansi (maxim of relevance), dan 
  • maksim pelaksanaan (maxim of manner).

1. Maksim Kuantitas

Dalam pertuturan setiap peserta percakapan diharuskan untuk memberi sumbangan informasi yang dibutuhkan saja, dan jangan memberikan sumbangan yang lebih informatif daripada yang diperlukan. Misalnya penutur yang wajar tentu akan memilih tuturan (a) dibanding dengan tuturan (b):
(a) Orang buta itu tenyata tukang pijat.
(b) Orang yang tidak dapat melihat itu ternyata tukang pijat.
Tuturan (a) dianggap lebih efektif dan efisien, serta mengandung nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu paham bahwa orang buta pasti tidak dapat melihat. Dengan demikian elemen tidak dapat melihat dalam tuturan (b) dianggap berlebihan. Adanya elemen yang tidak dapat melihat dalam (b) dianggap bertentangan dengan maksim kuantitas karena hanya menambahkan hal-hal yang sudah jelas dan tidak perlu diterangkan lagi.

2. Maksim Kualitas

Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memberikan sumbangan informasi yang benar. Dengan kata lain baik penutur maupun mitra tutur tidak mengatakan apa-apa yang dianggap salah, dan setiap kontribusi percakapan hendaknya didukung oleh bukti yang memadai. Apabila dalam suatu pertuturan ada peserta tutur yang tidak mempunyai bukti yang memadai mungkin ada alasan-alasan tertentu yang mendasarinya. Perhatikan tuturan berikut ini:

  • A: Ada berapa maksim kerjasama menurut Grice?
  • B: Menurut buku Grice yang saya baca, ada empat maksim dalam prinsip kerja sama.
  • A: Maksim apa sajakah itu ?
  • B: Maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara      (pelaksanaan).

Pada contoh di atas, (B) memberi sumbangan informasi yang benar, bahwa menurut buku Grice yang dia baca ada empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara (pelaksanaan).

3. Maksim Relevansi (Hubungan)

Maksim ini mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Perhatikan contoh  berikut ini:
A: There is somebody at the door?
B: I’m in the bath. (Joan Cutting, 2002: 36)
Ketika A mengatakan kepada B bahwa ada seseorang yang datang di depan pintu rumah mereka dan berharap B untuk membukakan pintu untuk tamu itu, maka  B mengatakan bahwa dia sedang berada di kamar mandi pada saat itu.  Jawaban B mengimplikasikan bahwa dia mengharapkan A untuk mengerti di mana B berada pada saat itu, sehingga B tidak bisa membukakan pintu dan melihat siapa yang datang pada saat itu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara peserta tutur tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi dapat pula terletak pada apa yang diimplikasikan

4. Maksim Pelaksanaan (Cara)

Pada maksim ini, para peserta pertuturan diharapkan untuk berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Dalam wacana tuturan sehari-hari sering dapat dijumpai seorang penutur yang dengan sengaja tidak mengindahkan maksim ini.

Seperti yang terlihat pada dialog yang diambil dari Parker (1986) di bawah ini:
A: Let’s stop and get something to eat.
B: Okey, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S (Parker, 1986)
Dalam dialog di atas, ejaan dalam tuturan B tersebut bertujuan untuk membuat anak yang menggemari Mc. Donalds tidak menyadari bahwa orangtuanya tidak ingin makan di Mc. Donalds. Seorang penutur harus menafsirkan kata-kata yang digunakan oleh lawan bicaranya. Secara taksa (ambigu) berdasarkan konteks pemakaiannya. 

Hal ini berdasarkan prinsip ketaksaan (ambiguitas) tidak akan muncul bila kerjasama antara peserta tindak tutur selalu dilandasi oleh pengamatan yang seksama terhadap kriteria-kriteria pragmatik yang digariskan oleh Leech dengan konsep situasi tuturnya. Dialog di bawah ini memberikan gambaran yang nyata mengenai kalimat taksa:
A: Mas aslinya mana?
B:  Saya aslinya Purworejo, Mbak.
A: Aduh, mas ini GR banget. Maksud saya, KTP asli saya mana?

Dialog tersebut sering terjadi ketika (A) sedang memfotokopi KTP di sebuah tempat fotokopi di Jogja. Setelah KTP selesai difotokopi, (A) bermaksud meminta KTP yang asli dengan mengatakan “Mas, aslinya mana?” dan ternyata ditafsirkan keliru oleh (B) karena dia menyangka bahwa (A) menanyakan asal-usul dia. Tuturan yang bersifat taksa seperti ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat membuat malu bagi pihak yang salah menafsirkan sebuah tuturan. Oleh karena itu, seyogyanya para peserta tutur menyadari bahwa hanya dengan memberikan kontribusi yang kooperatif maka sebuah komunikasi dapat berjalan dengan wajar.

C. Daftar Referensi

  • Cutting, Joan. (2002). Pragmatics and Discourse: A Resource Book for Students. New York: Routledge.
  • Grice, H. P. (1975). Logic and Conversation. Cambridge: Reprinted by permission of Harvard University Press from Studies in the Way of Words.
  • Leech, Geoffrey. (1991). Principle of Pragmatics. London: Longman.
  • Rani, dkk. (2013). Analisis Wacana Tinjauan Deskriptif. Malang: Surya Pena Gemilang.
  • Wijana, I Dewa Putu. (1996). Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
  • Yule, George. (1996). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

D. Unduh (Download) Resume Kesantunan Berbahasa Leech dan Prinsip Kerja Sama Grice

PDF
Kesantunan Berbahasa Leech dan Prinsip Kerja Sama Grice.pdf
Download

Leave a Comment